projustice.id Anakronisme: Mahar Politik dari Sudut Pandang Hukum Pidana

Anakronisme: Mahar Politik dari Sudut Pandang Hukum Pidana

Beranda Forum Hukum Pidana Anakronisme: Mahar Politik dari Sudut Pandang Hukum Pidana

Melihat 1 tulisan (dari total 1)
  • Penulis
    Tulisan-tulisan
  • #665
    nilfahasana
    Peserta

    Ratusan daerah akan menggelar pilkada serentak di 9 Desember mendatang. Para kandidat akan bertarung buat memenangkan pemilihan, sementara di sejumlah wilayah calon tunggal akan bersaing menggunakan kotak kosong. galat satu masalah yg seringkali ada merupakan mahar politik. Secara umum , mahar politik artinya uang yang diberikan agar seorang dipinang atau dicalonkan sang partai politik pada pemilihan. Mahar politik bukan hal baru pada perpolitikan pada Indonesia, namun secara hukum sulit buat dibuktikan.

    pada diskusi yang digelar serikat Dosen hukum Pidana Indonesia, Jum’at (18/9), sejumlah akademisi jua mengungkapkan skeptisisme perihal kemungkinan memproses pelaku mahar politik secara pidana. Bukan saja tergantung di kemauan aparat penegak hukum buat memprosesnya, tetapi juga karena rumusan Undang-Undang tidak terlalu bertenaga mengatur perbuatan pidana mahar politik. Alhasil, mahar politik sudah dianggap sesuatu yg biasa.

    Dosen hukum Pidana Universitas Jayabaya, Rocky Marbun, mengasosiasikan kenyataan mahar politik itu menggunakan anakronisme (pada bahasa Yunani diartikan secara harfiah: melawan saat). kata ini intinya mendeskripsikan suatu karya yg tidak sinkron menggunakan kronologis waktu, contohnya penempatan objek yg tak sinkron dengan zaman saat karya itu ditampilkan. pada konteks mahar politik, Rocky menyebut anakronisme menjadi seni yang mencoba menampilkan setting sejarah di era tertentu yang pada dalamnya terjadi defleksi dan penyimpangan itu disebut biasa. “seperti telah menjadi habituasi, norma,” ungkapnya.

    Mahar politik diatur pada Pasal 47 UU No. 1 Tahun 2015 ihwal Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 ihwal Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (diubah menggunakan UU No. 10 Tahun 2016). Partai politik atau adonan partai politik tidak boleh menerima imbalan pada bentuk apapun di proses bacaan sholat idul fitri pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati serta wakil bupati, dan walikota dan wakil walikota. Bila terbukti menerima imbalan, parpol atau gabungan parpol dilarang mengajukan calon di periode berikutnya pada daerah yg sama. namun embargo itu harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan aturan permanen.

    Pasal 187B UU No. 10 Tahun 2016 menyatakan anggota partai politik atau anggota adonan partai politik yg dengan sengaja melakukan perbuatan melawan aturan mendapatkan doa masuk makam imbalan pada bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur serta wakil gubernur, bupati serta wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota diancam pidana paling singkat 36 bulan serta paling lama 72 bulan, dan denda antara 300 juta hingga 1 miliar rupiah.

    pengajar akbar hukum Pidana Fakultas aturan Universitas Indonesia, Topo Santoso, menilai perumusan larangan pemberian mahar politik dalam UU No. 1 Tahun 2015 dan sanksinya dalam UU No. 10 Tahun 2016 memberikan pembentuk undang-undang terkesan tidak rela penerapan hukuman sebab aturannya dicicil. dalam praktiknya, penggunaan pasal sanksi itu jua bergantung pada pembuktian dan kesediaan aparat penegak hukum buat membongkar mahar politik. Selama ini, penegakan hukum terhadap mahar politik nyaris tidak dilakukan.

    Bandingkan contohnya jenis sanksi pada pidana pemilihan kepala daerah serta sanksi pada pemilihan umum . Pasal 228 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum menyebutkan parpol dilarang menerima imbalan pada bentuk apapun di proses pencalonan presiden serta Wapres. dalam hal parpol terbukti mendapatkan imbalan, sesuai putusan pengadilan yang sudah berkekuatan aturan tetap, parpol bersangkutan dilarang mengajukan calon di periode berikutnya.

Melihat 1 tulisan (dari total 1)
  • Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.