projustice.id Dari Mazhab Kriminologi Kritis hingga Politik Kriminal

Dari Mazhab Kriminologi Kritis hingga Politik Kriminal

Beranda Forum Hukum Pidana Dari Mazhab Kriminologi Kritis hingga Politik Kriminal

Melihat 1 tulisan (dari total 1)
  • Penulis
    Tulisan-tulisan
  • #647
    nilfahasana
    Peserta

    intinya, aturan pidana tidak selalu berbicara hukum hukuman atas kejahatan saja (yuridis-normatif), tapi terdapat juga konsep pencegahan (deterrence) menjadi bagian dari tujuan pidana, teori serta hukum verifikasi (bewijstheorie) dalam proses sidang pengadilan pidana sampai menggunakan cara mengintegrasikan ulang pelaku tindak pidana (strafbaar feit dader)—terutama terorisme—dengan rakyat dunia. Kendatipun secara definitif, arti dari hukum pidana menurut pakar hukum pidana Belanda, W.P.J. Pompe, menyatakan bahwa, “hukum pidana merupakan holistik peraturan-peraturan hukum yg mengambarkan perbuatan-perbuatan mana yg seharusnya dikenakan pidana serta pada mana pidana itu seharusnya ada.” (Hamzah, 2019: 176).

    tetapi, kelemahan definisi tersebut hanya berdiam diri di dalam sangkar aturan pidana materiel (ius poenale) yg bersifat tak berbentuk-substansial (objektif, in abstracto), padahal di samping itu terdapat kategori hukum pidana formiel (ius puniendi) yg menjelmakan hukum pada bentuk yg konkret (subjektif, in concreto), Simons mendefinisikannya menjadi hak negara pada menghukum pelaku tindak pidana melalui alat-indera kekuasaannya serta bersandar pada pangkuan peraturan-peraturan yg sebelumnya telah mendapatkan prestasi legalitas ataupun legitimasi (Lamintang, 1984: 8).

    pada goresan pena kali ini, penulis berusaha memakai 2 elemen definisi hukum pidana tadi menjadi pendekatan pada menyingkap tabir kejahatan terorisme yang kemudian akan dikolerasikan menggunakan kebijakan strategis buat menanggulangi persoalan kejahatan pada bingkai aturan pidana, lebih-lebih lagi pada hal antisipasi serta kriminalisasi melalui produk hukum terhadap tindak kejahatan terorisme, studi tentang “Politik Kriminal” menjadi tali yg bisa mengikat seluruh kepingan lidi nomenklatur mengenai berbagai upaya pada menyolusikan kejahatan-kejahatan yg terdapat.

    Secara tata cara awam, hukum internasional sudah menjustifikasi bahwa terorisme adalah kejahatan yg luar biasa (extra-ordinary crime) dan kejahatan humanisme (crime against humanity), seperti misalnya diatur pada dalam “International Convention for These prevention, and Panisment of Terrorism tahun 1937” (konvensi Internasional tentang Pencegahan dan Penghukuman Terorisme). karena sahih, bahwa jenis kejahatan terorisme setidaknya sudah memenuhi unsur tindak pidana internasional, sebagaimana yg sudah diramu skemanya sang Bassiouni, yaitu diantaranya: terdapat ancaman secara langsung atas perdamaian serta keamanan pada dunia, tindakan yg memiliki akibat terhadap lebih asal satu negara, maupun kebutuhan akan kerjasama antarnegara-negara buat melakukan penanggulangan (Atmasasmita, 2016: 46-47).

    Sedangkan pada konteks hukum nasional, Indonesia menjadi negara yang menggunakan sistem demokrasi konstitusional atau negara aturan demokratis (constitutional democracy, democratische rechtsstaat) yang mensyaratkan adanya landasan aturan pada setiap aktivitas khususnya yang berada pada horizon publik, termasuk pengaturan terkait sanksi atas perbuatan yang dilanggar serta pula dalam rumpun kejahatan yang patut dipidana termasuk terorisme (strafwaardig). sehingga pada alam pemikiran Hans Kelsen tentang hierarki norma aturan (stufentheorie) yg berbentuk piramida imajiner serta memiliki konektivitas antardimensi, asal Pancasila, 9e6815798cbf5360fb1d222bb47f22fc, dan seterusnya sampai tingkatan yang paling bawah, secara eksplisit maupun tersirat sudah melarang aksi tindakan terorisme, di samping itu teori ini juga memiliki formulasi konsepnya tersendiri terkait tingkat abstraksi tata cara dalam suatu kelas piramida: semakin ke atas level hukum, maka akan bersifat awam, kebalikannya, semakin ke bawah level aturan, sempurna semakin khusus (Asshiddiqie & Safa’at, 2012: 154).

    Kita mampu melacak tentang aturan yang melarang terorisme sebagai suatu pelanggaran hukum (crime, actus reus), misalnya dalam Pancasila terdapat pada sila ke-dua yg berbunyi “kemanusiaan yg adil dan beradab”. dalam medium Konstitusi (Undang-Undang DasarUUD) ada juga seperti pada Pasal 28J ayat (dua) Undang-UndangUUD 1945 yang secara tegas dan lugas memfatwakan supaya setiap orang tunduk-patuh terhadap undang-undang pada konteks kebebasan memakai hak asasinya di ruang publik menggunakan maksud meneguhkan nilai-nilai kebaikan, meluhurkan moralitas, merawat etos keberagamaan, serta menggawangi rumah keamaan maupun ketertiban bersama. Adapun Bila kita berangkat menuju level aturan yang berada pada bawahnya seperti misalnya terdapat pada Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No. lima Tahun 2018 Perubahan Atas Undang-Undang nomor 15 Tahun 2003 wacana Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai Undang-Undang. pada ketika yg bersamaan, fitur hukuman dalam undang-undang a quo ada di Pasal 6 yg berbunyi menjadi berikut:

    “Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang mengakibatkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, mengakibatkan korban yg bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa serta harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek penting yg Strategis, lingkungan hayati atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima (lima) tahun serta paling usang 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana tewas.”

    Kengerian konsekuensi pidana—yg berpijak pada surat keterangan buku Undang-undang aturan Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (WvS) Indonesia—yg tentunya akan dibebankan di pelaku kejahatan terorisme itu di hakikatnya bertumpu pada asas proporsionalitas dalam aturan pidana yang menghendaki terjadinya keseimbangan antara implikasi suatu tindak pidana menggunakan sanksi yg mengaturnya. hemat penulis, hal tadi sangat selaras menggunakan postulat Latin: nemo prudens punit, quia peccatum, sed net peccetur (supaya khalayak ramai benar -betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yg ganas serta pelaksanaannya di depan umum ). Sejalan menggunakan itu, terdapat penguatan berasal asas aturan yang berbunyi: lex dura, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam, akan tetapi begitulah bunyinya). sebab aturan bersifat imperatif, maka kiranya lumrah Jika isi berasal pemaksaan itu haruslah mempunyai impak yg jera terhadap psikologi suatu rakyat supaya tidak melakukan perbuatan yg melawan aturan (onrechtmatige daad).

    Masa Depan Terorisme pada Indonesia

    Selain itu, agar hukum yg berserakan menjadi bermanfaat (utilitas), maka perjuangan penegakan hukum (law enforcement) telah menjadi suatu kewajiban (deontology) yang wajib terus digalakkan dengan berlindung di pulang tameng instrumen aturan yang ada di samping melalui aneka macam kebijakan yang menopangnya—karena itu hukum pidana adalah wahana terakhir (ultimum remedium)—dan sudah barang tentu menggunakan dalih menanggulangi kejahatan agar setidaknya kenyataan kejahatan itu sendiri semakin terminimalisir atau mengalami proses pengikisan pada lintasan sejarah. di titik ini, kita sedang berbicara tentang teori “Politik Kriminal” atau “Kebijakan Kriminal”.

    Mengacu pendapat berasal ahli hukum Prancis, Marc Ancel, bahwa politik/kebijakan kriminal ialah “the rational organization of the control of crime by society.” Sedangkan menurut G. Peter Hoefnagels, mendefinisikannya menjadi berikut: “criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime.” Esensinya, politik kriminal adalah upaya buat menanggulangi kejahatan yg dikontrol sang bersama, baik pemerintah maupun masyarakat dalam kerangka yang rasional. waktu yang sama salah seseorang ahli pidana Indonesia, Barda Nawawi Arief, beropini bahwa sebenarnya politik kriminal itu artinya bagian integral dari penegakan hukum pidana itu sendiri (Effendy, 2014: 226-227). sehingga, sebagaimana yg sudah ditawarkan sang penulis, bahwa sahih antara dimensi peraturan perundang-undangan (abstrak) dan proses penegakan hukum (nyata) wajib interaktif, integratif, serta interkonektif. karena, semangat negara hukum tidak relatif hanya dibuktikan oleh sejauh banyaknya hukum normatif tertulis (lex scripta) yang diproduksi, akan tetapi pula membutuhkan aktor penggerak yang membentuk sistem hukum itu sendiri bergerak maju serta progresif, begitu juga kebalikannya.

    Tibalah kita diujung narasi kali ini yang sudah dibangun sang penulis, menggunakan segala asa, penulis berusaha menawarkan beberapa solusi cara lain yg sekaligus akan dibarengi menggunakan elaborasinya supaya pembaca dapat tahu secara utuh dan objektif.

    [1] Sebagaimana paras kriminologi kritis pada memandang panorama duduk perkara kejahatan terorisme, maka penulis memberi masukan supaya negara—pemerintah yang wajib bersinergi dengan rakyat—seoptimal mungkin membentuk kebijakan yang yg tidak diskriminatif, membuahkan keadilan menjadi rohnya, adaptif menggunakan tuntutan zaman, dan berkiblat di asas negara sejahtera (welfare state) dengan berpedoman pada Pancasila serta Konstitusi menjadi pandu yang menaungi segala misi ataupun visi berbangsa dan bernegara. dengan motif, agar lailatul qadar segala kebutuhan baik ekonomi, sosial, hukum, hingga politik rakyat mampu terakomodir secara baik. Penulis kira, salah satu prasyarat terjadinya negara dengan pemerintahan yg ideal ialah sistem birokrasi atau institusi yang berada pada tubuh pemerintah haruslah sehat serta baik. Faktanya, tesis ini menerima tsunami verifikasi ilmiah pada risetnya Daron Acemoglu serta James A. Robinson. karenanya, agama publik (public trust) terhadap pemerintah (state institution) itu akan selalu bergantung—salah satunya—di kualitas kebijakan juga hukum yg disponsorinya, Jika itu berujung di kebahagiaan, kemakmuran, juga kesejahteraan bersama, maka saat yang sama indeks kejahatan terorisme dimungkinkan akan mengalami “reduksionalisasi” yg relatif tajam. menggunakan bahasa lain, negara tidak boleh pensiun, alergi, fobia, dan durhaka terhadap gelombang aspirasi termasuk kritikan ataupun saran asal warga , ketika yang sama juga, pada kehidupan berdemokrasi di Indonesia tidak boleh golongan mayoritas (tiran secara umum dikuasai) yang didominasi sang masyarakat poly (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas (tirani minoritas) elite politik serta pengusaha (minorokrasi) mengeja setiap keputusan demi kepentingan beserta (latif, 2018: 119).

    [2] Upaya penanggulangan terorisme pada beranda hukum pidana, harus menyeimbangkan pendekatan/metode kebijakan penal (penal policy) yg berbasiskan di perjuangan represif dari aparat penegak hukum dan kebijakan nonpenal (nonpenal policy) yg berorientasi di upaya preventif terjadinya terorisme, dikotomi konsep kebijakan ini dikemukakan sang G. Peter Hoefnagels. irit penulis, bilamana benar terjadi suatu ekuilibrium (equilibrium) pada proses perjalanan penanggulangan terorisme dengan menempuh 2 pendekatan kebijakan dengan baik tersebut sebagaimana prinsip keseimbangan universal, maka ideal tingkat hayati beserta yang lebih baik lagi dipastikan berada persis di hadapan kita semua. tetapi agar Indonesia tidak menjadi negara gagal (failed state), maka kita jangan hingga terjebak pada fanatisme buta juga, bahwa ke 2 pendekatan pada menanggulangi kejahatan terorisme tersebut pun wajib menerima tempatnya yg kontekstual-fleksibel, sehingga ini akhirnya tergantung di situasi dan kondisi negara.

    [3] Sejalan menggunakan itu, pada tradisi diskursus terorisme, terdapat tiga pendekatan kembar menggunakan dua anak metode asal politik kriminal pada hukum pidana, diantaranya yaitu: Pertama, pendekatan memerangi terorisme (fight against terrorism), menggunakan langsung menuntaskan pertarungan terorisme melalui kekuatan fisik yg bermodel mirip perang. kedua, pendekatan keras (hard approach), yaitu dengan mengurung teroris di dalam bilik penjara, penangkapan berasal aparat, sampai penegakan hukum. 2 pendeketan tadi relatif simetris (similar) dengan kedua pendekatan politik kriminal dalam hukum pidana. Adapun yang Ketiga, pendekatan nirkekerasan (soft approach), yaitu pendekatan yg lunak dengan memanfaatkan sejumlah momentum rencana dialogis-interaktif atau membawa surplus narasi-narasi bijak dalam rangka menyongsong spirit deradikalisasi, deekstremisasi, deterorisasi, atau bahkan moderatisasi menggunakan menggunakan payung referensi dari bidang-bidang ilmu pengetahuan mirip psikologi, teologi, dan lain-lain (Amin, 2020: 31). hemat penulis, intinya semua pendekatan dalam khazanah keilmuan terorisme tadi sangatlah bernilai, tapi wajib dikontekstualisasikan menggunakan keadaan yang ada. Bila negara berada dalam atmosfer yg genting dan memaksa (state of emergency), maka akan sangat strategis Jika memakai pendekatan yang berpostur seperti perang (fight against terrorism), begitu pula kebalikannya, serta seterusnya.

    [4] pada era keterbukaan sebagai dampak langsung berasal arus akbar globalisasi, maka penggunaan platform media umum wajib segera dibatasi serta dikontrol secara ketat pada kerangka politik kriminal oleh negara tanpa menganggu hak privasi asal setiap rakyat. dari McQuail dalam Theories of Mass Communication, salah satu fungsi asal media ialah menjadi forum buat mengakses banyak sekali info mengudara dengan bebasnya pada khalayak, pada samping sebagai medium dalam berkomunikasi secara interaktif bahkan hiperaktif (Amin, 2020: 86). menjadi rasional, saat semakin bertambahnya jumlah teroris sebab pengaruh dari proses indoktrinasi dan rekrutmentasi yg terjadi di arena media umum. Keadaan ‘kiamat’ seperti ini menerima term spesifik yaitu “Hiperkriminalitas” di mana kejahatan telah melampaui batas (ekses) karena impak besar asal teknologi. Sangat sinkron menggunakan sabda berasal filsuf Prancis, Jean Baudrillard, pada bukunya The Perfect Time bahwa dengan donasi teknologi, manajemen, maupun politik, sekarang kejahatan dan kekerasan sudah mencapai bentuknya yg sempurna, yg beliau sebut sebagai “kriminalitas sempurna” (Piliang, 2005: 114).

    Maka daripada itu, penulis teringat dengan perkataan merdu yg disampaikan sang Ali bin Abi Thalib bahwa, “kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.” Sekian dan Terima Kasih.

    daftar pustaka

    buku

    Acemoglu, Daron & James A. Robinson. 2018. Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
    Amin, Hamidin A. 2020. wajah baru Terorisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka primer.
    Apter, David E. 1987. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES.
    Asshiddiqie, Jimly & M. Ali Safa’at. 2012. Teori Hans Kelsen tentang aturan. Jakarta: Konstitusi Press.
    Atmasasmita, Romli. 2016. Pengantar hukum Pidana Internasional. Bandung: PT Refika Aditama.
    Atmasasmita, Romli. (Ed). 2018. Teori serta Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Refika Aditama.
    Azyumardi, Azra. et al. 2017. Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme. Bandung: Mizan.
    Budiarjo, Miriam. (Ed). 2019. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka primer.
    Effendy, Marwan. 2014. Teori aturan asal Perspektif Kebijakan, Perbandingan, serta Harmonisasi aturan Pidana. Jakarta: Gaung Persada Press grup.
    Hamzah, Andi. 2011. aturan program Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
    Hamzah, Andi. 2019. aturan Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
    Harari, Yuval Noah. 2018. 21 Lessons: 21 Adab buat Abad ke 21. Manado: CV. global Indo Kreatif.
    Hardiman, F. Budi. 2018. Demokrasi serta Sentimentalitas. Yogyakarta: PT Kanisius.
    Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-Dasar aturan Pidana Indonesia. Bandung: CV Sinar Baru.
    latif, Yudi. 2018. Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun buat Pembudayaan. Bandung: Mizan.
    Nasiwan. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
    Piliang, Yasraf A. 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di pada Era Virtualitas. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
    Santoso, Topo. 2020. hukum Pidana: Suatu Pengantar. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

    Jurnal

    Firmansyah, Hery. 2011. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme pada Indonesia. Jurnal Mimbar aturan, 23(2), 237-429.
    Guntara, Deny & Budiman. 2018. Tinjauan Kriminologi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme pada Indonesia pada Perspektif Teori Differential Association. Jurnal Justisi hukum, tiga(1), 106-119.
    Komariah, Mamay. 2017. Kajian Tindak Pidana Terorisme pada Perspektif aturan Pidana Internasional. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 5(1), 1-23.
    Mustofa, Muhammad. 2002. tahu Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi. Jurnal Kriminologi Indonesia, dua(3), 30-38.
    Nitibaskara, Tb. Ronny R. 2002. Terorisme sebagai Kejahatan Penuh wajah: Suatu Tinjauan Kriminologis dan hukum Pidana. Jurnal Kriminologi Indonesia, 2(3), 14-21.

Melihat 1 tulisan (dari total 1)
  • Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.