Beranda › Forum › Hukum Pidana › Korelasi Hukum Perdata, Hukum Administrasi, Hukum Pidana, dan Malpraktik
- This topic has 0 balasan, 1 suara, and was last updated 2 years, 4 months yang lalu by
nilfahasana.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
Mei 3, 2021 pada 5:01 pm #641
nilfahasana
Pesertakorelasi aturan antara dokter dengan pasien sudah terjadi semenjak dahulu serta bersifat sangat eksklusif yang didasarkan atas agama antar pihak, dokter sebagai seorang yang menyampaikan pengobatan terhadap orang yg membutuhkannya. Transaksi terapeutik merupakan kesepakatan antara dokter serta pasien layaknya hubungan hukum yg menghasilkan hak serta kewajiban kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini merupakan upaya pengobatan atau terapi buat menyembuhkan pasien.[1] sinkron kesepakatan antara dokter dan pasien, hak serta kewajiban absolut akan muncul, Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, dapat muncul perselisihan antara dokter serta pasien. hubungan hukum yang terjadi antara dokter dan pasien tadi mengakibatkan hak serta kewajiban dokter serta pasien dan tanggung jawab aturan bagi dokter pada bidang aturan perdata.[2]
hubungan aturan antara pasien dan dokter memerlukan konvensi atau persetujuan supaya supaya tercapai suatu perjanjian (memenuhi kondisi sesuai Pasal 1320 KUH Perdata) yang mengakibatkan hak serta kewajiban secara timbal balik . Hal ini bermula saat pasien tiba ke dokter buat penyembuhan penyakit yg dideritanya adalah awal timbulnya relasi medis serta rekanan aturan yang disebut dengan transaksi terapeutik. dalam hukum perdata dapat dikatakan menjadi suatu perjanjian buat melakukan jasa-jasa eksklusif.
hubungan dokter pasien menempatkan dokter serta pasien pada pijakan yang sama, jadi apapun yg dilakukan dokter kepada pasien perlu melibatkan pasien tadi dalam menetapkan apakah hal tadi dapat dilakukan atau tidak atas kesehatan pasien. Pasien berhak memilih apakah menolak atau menerima sebagian atau seluruhnya rencana perawatan dan pengobatan yang akan dijalankan sang dokter terhadap dirinya.[3]
Tanggung Jawab Dokter dalam aturan Perdata
– Wanprestasi
sesuai hukum perdata, korelasi hukum dokter-pasien berada pada suatu perikatan hukum. Perikatan hukum artinya ikatan antara dua atau lebih subjek hukum yang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau memberi sesuatu (Pasal 1313 KUHPerdata jo. Pasal 1234 KUHPerdata). Selama pengobatan yang dilakukan tidak menyimpang asal baku profesi medis serta prosedur operasi baku, maka mereka yg tidak bisa sembuh tidak bisa dijadikan alasan wanprestasi. Tindakan yg dilakukan sang dokter yang dapat digolongkan menjadi pelanggaran kontrak atau wanprestasi antara lain tindakan yg wajib dilakukan tidak sinkron menggunakan ketentuan perjanjian, praktik yang harus dilakukan sesuai menggunakan ketentuan perjanjian, namun terlambat atau praktik yg tidak tepat atau operasi yg tidak boleh dilakukan.[4] intinya tujuan pertanggungjawaban perdata artinya buat membayar ganti rugi atas kerugian pasien yg diakibatkan sang pelanggaran kontrak (wanprestasi) sang dokter (Pasal 1365 KUH Perdata).
– Perbuatan Melawan hukum
Bila suatu kesalahan medis menyebabkan kerugian pada prosedur medis, pasien berhak buat menuntut ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum tadi. Perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 1365 KUH Perdata dapat berupa kesengajaan dokter atau kelalaian dokter, baik itu khutbah idul fitri sedihkhutbah idul fitri sedih melakukan tindakan medis atau tak melakukan tindakan medis terhadap pasien. Kerugian yang ditimbulkan harus merupakan dampak dari perbuatan salah medis, serta kesalahan tadi harus dibuktikan asal perspektif ilmu kedokteran dan aturan.[5] Pasal 1366 KUH Perdata mengatur bahwa selain dituntut berdasarkan pelanggaran hukum yang disebutkan pada atas, dokter jua dapat dituntut sebab merugikan pasien disebabkan karena kelalaiannya.
Tanggung Jawab Dokter dalam aturan Administrasi
Malpraktik Administrasi (Administrative Malpractice), waktu dokter atau petugas kesehatan lain melanggar undang-undang administrasi nasional yg berlaku, seperti melaksanakan praktik kedokteran tanpa biar praktik atau lisensi, merogoh tindakan yang tak sinkron menggunakan izin/lisensi, serta berpraktik dengan izin yg sudah kadaluwarsa, serta melakukan praktik tanpa membuat rekam medis.[6] Dikatakan pelanggaran malpraktik administrasi Bila dokter melanggar hukum tata usaha negara. sesuai ketentuan yg berlaku, seorang yang telah lulus menjadi dokter tidak dan merta dapat bekerja menjadi dokter, tetapi terlebih dahulu wajib mendapatkan lisensi atau izin praktik. Bila peraturan ini dilanggar, dokter tersebut dapat disebut telah melakukan kesalahan administratif serta bisa dikenakan sanksi administratif, seperti pembekuan izin sementara ketika atau bentuk hukuman administratif lainnya.[7]
Tanggung Jawab Dokter dalam hukum Pidana
Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice) terjadi jika pasien meninggal global atau mengalami luka berat/stigma akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati, malpraktik pidana yaitu:
a. Kesengajaan/opzet/dolus (intensional), misalnya pada kasus melakukan aborsi tanpa tanda medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan di kasus gawat darurat padahal diketahui bahwa tak ada orang lain yang mampu menolong, serta menyampaikan referensi dokter yg palsu.
b. Kecerobohan (recklessness) misalnya melakukan tindakan yg tidak sesuai dengan standar profesi dan melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c. Kelalaian, seperti kecacatan atau kematian pasien akibat kecerobohan dokter, atau kelalaian akibat indera bedah tertinggal pada rongga tubuh pasien.[8] Hal tersebut dikenal dengan sebutan kelalaian berat atau culpa lata.Jika suatu perbuatan memenuhi gambaran tindak pidana, maka dapat digolongkan menjadi pelanggaran hukum , yaitu perbuatan tersebut wajib tercela serta dilakukan dengan perilaku psikologis yg galat, yaitu berupa kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan. Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi pada bidang aturan pidana, diatur antara lain pada Pasal 267, 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 359, 360, 361 dan 531 KUHP. ada disparitas krusial antara pelanggaran hukum biasa serta pelanggaran hukum medis. dalam tindak pidana biasa yang sebagai perhatian primer merupakan akibatnya, sedangkan perhatian utama dalam tindak pidana medis yaitu penyebabnya. Walaupun mengakibatkan fatal, tetapi Jika tidak terdapat unsur kesalahan atau kelalaian, dokternya tak dapat dipersalahkan.[9]
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.