projustice.id Menantikan Kemerdekaan dari Hukum Pidana Kolonial

Menantikan Kemerdekaan dari Hukum Pidana Kolonial

Beranda Forum Hukum Pidana Menantikan Kemerdekaan dari Hukum Pidana Kolonial

Melihat 1 tulisan (dari total 1)
  • Penulis
    Tulisan-tulisan
  • #661
    nilfahasana
    Peserta

    17 AGUSTUS bukan sekadar “seremoni kemerdekaan”, melainkan lebih daripada itu–menjadi momen buat merenung seraya mengevalusi, sejauh mana semangat kemerdekaan (the spririt of independence) mengisi aneka macam bidang pembangunan di Indonesia.

    Pembangunan mencakup bidang yang sangat luas, mencakup budaya, sosial, politik, ekonomi, teknologi, aturan dan lain sebagainya.

    Pembangunan aturan nasional mencakup berbagai lapangan bidang aturan, salah satunya artinya aturan pidana.
    Kungkungan hukum pidana kolonial

    Kemerdekaan Indonesia yang telah didapat melalui perjuangan, yang mana para pahlawan tanah air telah mengamanatkan secara expresive verbis dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa “… Atas berkat rahmat Allah yg Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh asa luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka warga Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya…”

    hasrat luhur kemerdekaan tersebut, tentunya meliputi ragam aspek kehidupan, termasuk bidang hukum pidana.

    sehingga logis bila dalam hukum peralihan Undang-Undang Dasar 1945 ditemukan pernyataan “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru dari 9e6815798cbf5360fb1d222bb47f22fc ini”.

    Pesan konstitusional diatas menerangkan, keberadaan Wetbook van Strafrecht (WvS) atau yang dikenal dengan KUHP bersifat sementara, dan harus digantikan menggunakan kitab undang-undang hukum pidana yang dibuat berdasarkan Undang-Undang DasarUUD 1945.

    namun, hingga 2020 aecba9233af93db24f3db6b7799be4ce para pendiri bangsa belum dapat terwujud. sebagai akibatnya sempurna apa yg disampaikan Piepers, “Code Penal (baca kitab undang-undang hukum pidana) bagaikan sebuah celana yang dulu digunakan oleh ayah, kemudian beralih pada anak yg sulung serta selanjutnya dengan tambalan sepotong kain diteruskan pada anak yang ke 2” (Sahetapy:2012).

    Indonesia masih terkungkung di produk aturan kolonial!

    perjuangan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana nasional bukan berarti tak pernah dilakukan.

    Pembaharuan secara parsial dilakukan dengan menyisipkan pasal-pasal ke dalam KUHP atau menyatakan tak berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP.

    Walaupun, di tataran formulasi telah ada pembaharuan parsial terhadap KUHP, tetapi sejatinya penanggulangan kejahatan di Indonesia masih berlandaskan pada hukum pemidanaan yg dibangun sang nilai-nilai masyarakat kolonial Belanda, dan ternyata diambil juga asal Perancis–sistem hukum romawi.

    di samping pembaharuan parsial, pembaharuan holistik KUHP dilakukan dengan menyusun Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang kitab Undang-Undang aturan Pidana (RUU KUHP).

    Upaya penyusunan RUU kitab undang-undang hukum pidana telah dilakukan Dari tahun 1963, dan bepergian pembentukannya tidak berjalan dengan mulus.

    Bahkan selang 21 Tahun pasca demontrasi Reformasi 1998, mahasiswa turun ke jalan dengan hashtag-nya “Reformasi Dikorupsi” mengusung 7 (tujuh) friksi, keliru satunya artinya menolak RUU kitab undang-undang hukum pidana!
    Mengurai kesalahpahaman RUU kitab undang-undang hukum pidana

    dalam konteks negara demokrasi, demonstrasi ialah hal yg masuk akal, acapkali diklaim menggunakan berbagai kata, diantaranya political protest (Anita Breur:2012) serta social protest (Sahan Savas, et.all:2018).

    merupakan, penolakan terhadap RUU KUHP ialah wajar serta wujud implementasi nilai demokrasi di Indonesia.

    tetapi, yg terpending artinya menyelami alasan mengapa penolakan tadi terjadi.

    W Lawrence Neuman mengemukakan warga mempunyai alasan sendiri atas setiap tindakan mereka, dan kita perlu menyelidiki alasan tersebut (Neuman:2014).

    Kesalahpahaman terhadap RUU kitab undang-undang hukum pidana diantaranya di cap rasa kolonial, dibuat terburu-buru, bersifat represif, terlalu jauh masuk ke area yang sangat privat.

    Hal yang lumrah apabila pandangan tadi muncul, karena untuk tahu RUU KUHP tidaklah praktis, tidak sesederhana membacanya, namun doa zakat fitrah kita wajib mampu tahu konsepsi intelektual (intellectual conception) atau alasan fundamental yg melahirkan rumusan setiap pasal dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana.

    obrolan adalah hal yang penting buat dilakukan, buat dapat mengurai kesalahpahaman terhadap RUU kitab undang-undang hukum pidana. dialog harus dilakukan oleh pemerintah serta banyak sekali elemen bangsa.

    Pertama, pemerintah bersama tim perumus RUU kitab undang-undang hukum pidana yg artinya begawan hukum pidana Indonesia perlu meyakinkan bahwa formulasi adat aturan pidana yang hendak dirumuskan dalam RUU KUHP sesuai di Pancasila serta 9e6815798cbf5360fb1d222bb47f22fc Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    harus bisa ditujukan, berbagai hukum pemidanaan, delik, dan hukuman pidana yg sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

    ke 2, mengungkapkan pandangan HAM yg partikularisitik relatif yg dianut serta direalisasikan dalam RUU KUHP.

    Pandangan tadi, berdasarkan Muladi, duduk perkara HAM pada samping masalah universal pula merupakan dilema nasional masing-masing bangsa.

    Berlakunya dokumen-dokumen internasional wajib diselaraskan, diserasikan dan diseimbangkan dan memperoleh dukungan serta tertanam (embedded) dalam budaya bangsa.

    ad interim pandangan luas yang beredar, HAM dimaknai sebagai hak yg bersifat universal absolute, sehingga wajar ada asumsi RUU KUHP sudah masuk ke ranah yg bersifat personal.

    Ketiga, para ahli hukum pidana bertanggung jawab buat mengedukasi warga mengenai RUU kitab undang-undang hukum pidana utamanya terhadap pasal-pasal yg dianggap kontroversial ,antara lain penghinaan presiden atau Wapres (Pasal 218-220), perzinahan (Pasal 417), pemerkosaan (Pasal 480), persetubuhan menggunakan janji kawin (Pasal 418), dan hayati beserta di luar perkawinan (Pasal 419), dan sebagainya.
    ratifikasi RUU kitab undang-undang hukum pidana menjadi kado kemerdekaan

    anugerah yang sangat dinantikan artinya Indonesia memiliki kitab undang-undang hukum pidana yang dibangun sendiri atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

    telah lama dinantikan-tunggu semenjak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. sudah saatnya menjadi bangsa yang merdeka, memiliki kitab undang-undang hukum pidana-nya sendiri.

    menjadi “kado”, RUU kitab undang-undang hukum pidana mempunyai banyak kebaikan-kebaikan yang perlu segera diimplementasikan pada penanggulangan kejahatan pada Indonesia. salah satunya artinya kebijakan permaafan hakim (rechterlijke pardon).

    Kebijakan tersebut memberi wewenang kepada hakim buat memberi maaf di sesorang yg bersalah melakukan tindak pidana yg sifatnya ringan.

    Nantinya anugerah maaf ini dicantumkan pada putusan hakim serta permanen wajib dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yg didakwakan kepadanya.

    Ketentuan permaafan hakim krusial buat menghindari pemidanaan terhadap kasus mungil yg kerugiannya tak bersifat signifikan bagi rakyat, yg selama ini poly terjadi dalam penegakan hukum.

    Permaafan hakim sejalan dengan nilai Ketuhanan yg diyakini sang Bangsa Indonesia, berfungsi meniadakan pemidanaan yang berspirit menindas kaum lemah–menjauhi sisi manusiawi pemidanaan yang adalah amanat kemerdekaan.

Melihat 1 tulisan (dari total 1)
  • Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.