Beranda › Forum › Hukum Pidana › Mendudukkan Isu Kamus Sejarah Indonesia sebagai Problem Metodologis
- This topic has 0 balasan, 1 suara, and was last updated 3 years, 8 months yang lalu by nilfahasana.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
Mei 3, 2021 pada 5:47 pm #658nilfahasanaPeserta
Sebuah kamus yg hendak mencakup poly hal ialah proyek gigantis serta tak berkesudahan. dua pekan kemudian, kamus terbitan Kementerian Pendidikan serta Kebudayaan bertajuk Kamus Sejarah Indonesia (KSI) memantik dialog publik yang kontroversial. Kontroversinya bahkan merambah ke daerah politik serta sebagai bahan politisasi beberapa kalangan—sesuatu yang tak terhindarkan pada tengah kemudahan akses serta komunikasi yang terbuka saat ini.
Politisasi tersebut tentu saja berada pada luar jangkauan orang-orang yg bertanggung jawab atas produksi kamus serta pihak-pihak yang secara nrimo memberi masukan, dalam hal ini kalangan nahdiyin. Bagi aku , apa yang secara efektif bisa dilakukan ialah merevisi isi kamus dengan mempertimbangkan banyak sekali masukan serta melalui serangkaian uji publik.
Kamus yang diterbitkan pada dua jilid itu memang perlu diperbaiki. Masukan yg asal berasal tinjauan substantif dan metodologis adalah keniscayaan pada global akademik. Kritik bisa lahir asal warga , organisasi sosial, maupun kalangan akademisi serta sejarawan—menjadi bagian asal community practice pada suatu knowledge network—demi mematangkan naskah buku itu agar siap saji di hadapan publik.
Direktur Jenderal Kebudayaan Dr. Hilmar Farid secara terbuka sudah menjelaskan bahwa naskah tersebut sebetulnya belum final. Naskah dijilid sebagai bahan untuk laporan pertanggungjawaban tutup tahun anggaran 2017. Prof. Dr. Susanto Zuhdi menjadi editor juga telah menguraikan bahwa ada hal yg belum tuntas dilakukan dalam pengaturan antarlema, namun pekerjaan penyusunan tersebut berakhir dan tidak berlanjut di tahun berikutnya.
Proyek yang Terus MenerusKarya semacam KSI memang wajib terus diperbarui seiring lahirnya lema-lema baru, adanya referensi anyar yg memperkaya narasi atas lema atau bahkan memperkenalkan lema baru, dan munculnya perubahan situasi sebagai akibatnya suatu info atau insiden baru ada belakangan.
Ensiklopedia atau kamus di bidang sains serta teknologi barangkali lebih cepat diharapkan pemutakhirannya dibanding bidang ilmu sosial. dari Neil J. Smelser dan Paul B. Baltes pada International Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences (2001), pemutakhiran ensiklopedia atau kamus ilmu sosial lazimnya dilakukan setiap 1/3 abad. Edisi pertama Encyclopædia Britannica, misalnya, diterbitkan pada 1768, lalu diubah secara mendasar dan diperluas pada edisi ke 2 tahun 1777. Edisi ke-14 tahun 1929 pada puluhan volume dinyatakan menjadi ensiklopedia dengan sistem revisi berkelanjutan.
Penyusun ensiklopedia artinya orang yg pakar pada bidangnya dan bisa diganti tatkala terdapat revisi atau penambahan lema/bidang baru. Keterlibatan publik (dalam hal ini para pakar) jua dibuka. dalam kasus KSI, keputusan warga Sejarawan Indonesia (MSI) di Selasa (22/4/2021) yg mendesak agar Kemendikbud merevisinya secara transparan dengan melibatkan para ahli (sejarawan; media; leksikografer; akademisi) artinya tepat belaka.
Menyadari syarat semacam itu, maka persoalan metodologis sebagai begitu krusial sehingga taktik penyusunan terhadap leksikon terpilih, perspektif atau pendekatan, dan teknis pemilihan referensi yg mewadahi suatu kamus bisa diketahui publik. dan yang tidak kalah krusial: mendudukkan limitasinya.
Sayangnya, pada KSI kita tidak menemukan penjelasan metodologis tersebut. Kita hanya menjumpai liputan pada “kata Pengantar” yg ditulis Direktur Sejarah Kemendikbud perihal tujuan penulisan kamus, yaitu menjadi “daftar informasi kesejarahan yg bisa memudahkan pengajar khususnya dan umumnya warga luas dalam mencari istilah-istilah sulit yang kerap ditemukan pada pembelajaran sejarah”. Pendeknya, KSI bertujuan buat menunjang aktivitas pembelajaran kelas. Tentu ini tujuan mulia dan sangat diperlukan, meski tidak berarti mengesampingkan penerangan metodologis yg dipergunakan.
Pijakan PeriodisasiKita juga tak menjumpai penjelasan mengenai periodisasi yg membagi KSI menjadi 2 jilid: Jilid I Nation Formation (1900-1950); Jilid II Nation Building (1951-1998). Periodisasi dengan membagi hampir sempurna menjadi 2 bagian setengah abad itu tidak lazim, apalagi setengah abad pertama diklaim menjadi era “kumpulan Kebangsaan” (Nation Formation) serta 1/2 abad kedua ialah era “Pembangunan Kebangsaan” (Nation Building). Akan terdapat banyak diskusi soal periodisasi dalam rentang satu abad tadi; misalnya hal sederhana ihwal dasar penggunaan batas tahun 1950-1951. penerangan tentang periodisasi diharapkan bisa dibubuhi pada bab pengantar/pendahuluan.
saya menghindari diskusi tersebut dan ingin menyebut konsekuensi penggunaan pendekatan periodisasi terkait menggunakan lema yg disusun secara alfabetis. Tatkala masing-masing jilid menyajikan lema A sampai Z, maka akan timbul duduk perkara bagaimana memilih tokoh, peristiwa, atau organisasi yang masih berpengaruh melintasi periode yang tidak selaras di dalam ke 2 jilid tadi. Bagaimana jua menyajikan narasi tentang organisasi yang bersifat evolutif atau sosok yang memiliki peranan di beberapa era yg tidak selaras?
Penyajian yang mengulang lema A-Z pada kedua jilid itu justru akan berpeluang mubazir, anakronis, atau, kebalikannya, menarasikan pada jilid awal padahal suatu lema yg dinarasikan masih berlangsung sampai jilid kedua. Lema dalam kitab yg bersifat voluminous mirip ensiklopedia atau kamus lazim disusun secara alfabetis berurutan jilid demi jilid.
Desain serta AcuanEnsiklopedia atau kamus tematis umumnya disusun sang tim yg dipandu menggunakan serangkaian ketentuan (term of references) di bawah pengkurasian atau peyuntingan eksklusif. dari penyusunan lema, misalnya, dia bisa berdasarkan di nama tokoh, forum, organisasi, daerah, insiden penting, konsep, karya monumental, dan sebagainya, demikian disebut Noer Fauzi Rachman dalam artikel bertajuk “Gagasan Pembuatan Ensiklopedia Studi dan Dokumentasi Agraria Indonesia” (2019).
Setiap lema dinarasikan menggunakan rujukan yg kentara. Historical Dictionary of Indonesia (HDI) karya Robert Cribb serta Audrey Kahin (2004) mencantumkan kode surat keterangan pada akhir narasi lema. tanggal setuju atau tidak menggunakan deskripsi yang disematkan, kamus ini jelas secara metodologis serta mampu diverifikasi. Pembaca jua bisa mengusut acum pada daftar pustaka.
Menariknya, bibliografi pada bagian akhir HDI dikelompokkan secara tematis. seseorang peneliti yang tertarik pada tema ekonomi, misalnya, mampu langsung menuju bibliografi yg dapat ditelusuri di page 518-528. Begitu juga tersaji bibliografi tema bibliografi (yang relatif langka adanya) yang meliputi kebudayaan, sejarah, politik, sains, masyarakat, serta media.
Guna menghindari kemubaziran serta menunjukkan hubungan timbal kembali antarlema, penyusun HDI memberi catatan keterkaitan tadi. sebagai model, di lema “bangsa Indonesia”, penyusun menyarankan pembaca buat melihat lema “asli” dan “pribumi”. Entri “landreform” menyarankan “aksi sepihak”; kebalikannya di lema “aksi sepihak” tidak diberi deskripsi, tetapi disarankan buat mengacu di leksikon “landreform” yang disebutkan lebih dahulu. Cara ini dapat menghindari pengulangan.
Konsep, Bukan ArtiSatu contoh tentang tidak memadainya suatu konsep dijelaskan dalam KSI ialah lema “Anarkisme” (Jilid I, hlm. 26). istilah ini dideskripsikan menjadi “Ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara; teori politik yg tidak menyukai adanya pemerintahan serta undang-undang.” Narasi ini persis mirip yg terdapat pada KBBI Daring.
Jika setia meletakkannya menjadi kamus kesejarahan, maka lema itu seharusnya dijelaskan menjadi konsep historis, bukan makna umum . bila merujuk di surat keterangan lain, anarkisme dipandang sebagai ideologi perlawanan terhadap rezim diktator. Bahkan pada sejarah dunia, anarkisme artinya ideologi antikolonialisme yang dianut para tokoh serta gerakan antikolonial niat mandi idul adha interkontinental, seperti di Indonesia, Filipina, dan Kuba. ia juga terkoneksi dengan gagasan-gagasan antikolonial lainnya secara dunia dan menyejarah. Ini bisa kita baca asal Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination karya Ben Anderson (2007). Tanpa gagasan anarkisme yg dibawa para pendiri bangsa, bahkan lintas-bangsa, bisa jadi Indonesia tak merdeka. kini anarkisme diklaim sama menggunakan vandalisme. Padahal makna keduanya tidak selaras jauh.
pada sinilah KSI dapat menerangi kesalahkaprahan pengertian tersebut. Tatkala istilah historis yang terlanjur reduktif itu diambil alih menjadi definisi hukum serta dipergunakan buat melakukan tindakan hukum, maka kata itu menjadi “alat kategoris” buat mengkriminalisasi.
Kamus tematik sebagai penerang atas makna umum itulah yang jua menjadi latar belakang penyusunan Nederlands-Indonesisch juridisch woordenboek (1999) karya Marjanne Termorshuizen. istilah-istilah pada dalam aturan Indonesia masih mewarisi istilah serta gagasan yang berasal asal Belanda. Beberapa konstruksi hukum masih digunakan, seperti buku Undang-Undang aturan Pidana (kitab undang-undang hukum pidana) yg asal berasal Wetboek van Strafrecht buatan Belanda. Beberapa UU sudah menganulir konsep-konsep Belanda mirip UUPA 1960 terhadap Agrarische Wet, konsep “domein verklaring”, serta kitab ke-II buku Undang-Undang hukum Perdata Indonesia warisan Belanda. UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan juga sudah menghapus konsep properti serta hypotheek warisan Barat (hlm. 562).
agar tidak sembrono memahami istilah hukum, maka kamus itu membantu mendudukkan pulang maknanya secara kontekstual. Singkatnya, kamus tematik memuat penerangan yang khas dalam bidang tersebut.
Kamus karya Termorshuizen pada atas secara teknis jua menyajikan kode referensi pada akhir narasi lema. daftar pustaka yg disajikan berasal dari sumber primer berupa peraturan-perundang-undangan bahkan kompilasi Staatsblad van Nederlandsch-Indie mulai 1828 hingga dengan era Indonesia, Lembaran Negara lengkap hingga 1995.
terdapat lagi model asal Kamus Agraria serta rapikan Ruang (Kementerian ATR/BPN 2018) yang adalah edisi penggabungan asal Kamus Pertanahan (BPN 2013) dan Kamus tata Ruang (Dirjen Penataan Ruang Kementerian PU 2009). Kamus ini menyajikan lema-lema menggunakan definisi yang murni diambil dari peraturan perundang-undangan. pada hal ini, secara metodis jelas. Sayangnya, ia tidak mencantumkan rujukan perpu apa yang digunakan di masing-masing lema tadi. Pencantuman itu ialah keharusan. Selain untuk pelacakan ulang, juga buat mempertimbangkan bahwa definisi pada pada perpu pula berubah seturut perubahan syarat yang dihadapi/direspons.
Perspektif Inklusivitas serta Kewargaanmenjadi materi pendidikan, kamus sejarah memiliki fungsi yg strategis pada memperkuat pencerahan kebangsaan dan kesejarahan masyarakat Indonesia. Pendekatan yang bisa ditawarkan pada sini untuk digunakan pada memperkuat visi kebangsaan dan kesejarahan tersebut merupakan “inklusivitas” (inclusivity) serta “kewargaan” (citizenship).
perpaduan kebangsaan (nation formation) Indonesia, Bila istilah ini tetap dipergunakan, dibuat oleh berbagai kelompok, etnisitas, ideologi, sirkulasi, bahkan banyak sekali anggota bangsa. Proses menjadi bangsa merupakan motilitas beserta dengan segala retakan serta keutuhannya. Proses berbangsa adalah praktik berkewargaan (practice of citizenship) dalam segenap aspirasi yang dikandungnya. Bukan hanya kewargaan berbasis etnis atau ras berupa pribumi, Eropa, indo, atau Tionghoa, misalnya; namun jua berbasis produksi mirip buruh, petani, nelayan, peladang berpindah, warga tempatan, serta sebagainya.
di situlah kita mampu menilai di fase manakah di era pembangunan kebangsaan (nation building), yang merentang dari periode kepresidenan Sukarno ke Soeharto itu, mencerminkan pembangunan yg kokoh karena memberi ruang di aspirasi banyak sekali grup warga . evaluasi lainnya: pada fase manakah bangunan kebangsaan Indonesia Itu rapuh karena praktik kewargaan justru menerima represi asal negara. dua perspektif tentang inklusivitas dan kewargaan itu barangkali bisa menjadi metanarasi yg menghubungkan lema demi lema.
Pembaca yg Menyambut UndanganKita memerlukan investigasi metodologis serta akademis dalam rangka menciptakan literasi yang matang. Penyusunan kamus tentu saja jauh berasal motif politik. Penyusunan KSI permanen penting. usaha keras penyusunnya layak kita apresiasi.
Menulis review di tengah situasi yg kontroversial tidaklah mudah dilakukan. Diskusi ini merogoh posisi menjadi pembaca yang menyambut undangan Direktur Sejarah yang tersaji di “kata Pengantar” Jilid I dan Jilid II: “Penyusunan kitab ini tidak tanggal dari banyak sekali kesilapan. oleh sebab itu, saran serta masukan dari para pembaca sangat membantu dalam proses penulisan yang lebih baik kedepannya.”
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.