projustice.id Pemerintahan Langkah-Langkah Perwujudan Good Governance

Langkah-Langkah Perwujudan Good Governance

Projustice – Jakarta, Banyak orang yang beranggapan bahwa perwujudan Good Governance merupakan tanggungjawab dari Aparatur Sipil Pemerintah sebagai penyelenggara negara saja, padahal Good governance harus menyentuh 3 (tiga) pihak yaitu pihak pemerintah (penyelenggara negara), pihak korporat atau dunia usaha (penggerak ekonomi), dan masyarakat sipil (menemukan kesesuaiannya). Ketiga pihak tersebut saling berperan dan mempengaruhi dalam penyelenggaraan negara yang baik.

Langkah-Langkah Perwujudan Good Governance
  1. Penguatan Fungsi dan Peran Lembaga Perwakilan;
  2. Kemandirian Lembaga Peradilan;
  3. Aparatur Pemerintahan yang Profesional dan Penuh Integritas;
  4. Masyarakat Madani (Civil Society) yang Kuat dan Partisipatif; dan
  5. Penguatan Upaya Otonomi Daerah.

Sistem dan lingkungan kerja birokrasi pemerintah secara apologetik sering dituding sebagai biang keladi penghambat terwujudnya good governance.

Fakta-fakta pendukung yang sering diungkapkan adalah rendahnya gaji/insentif finansial aparatur pemerintah, lemahnya law enforcement (penegakan hukum), kurang jelasnya pemberlakuan punishment and reward (penghargaan dan hukuman), pengembangan karir yang mengabaikan merit system (sistem yang mengacu pada prestasi kerja), dan kuatnya budaya feodal dalam pola hubungan atasan-bawahan.

Ada Beberapa Upaya Praktis dan Konkret yang dapat Dilakukan Aparatur Pemerintah dalam Mendukung Perwujudan Good Governance:

Pertama, berusaha semaksimal mungkin untuk bekerja secara profesional. Artinya, menjalankan tugas dan fungsi sebaik-baiknya sesuai dengan job description (tugas yang ditetapkan), baik dalam pelayanan publik maupun dalam aktivitas birokrasi lainnya.

Kedua, secara kontinu memperluas pengetahuan, wawasan, dan keterampilan, dengan misalnya menempuh pendidikan formal lanjutan serta secara reguler mengikuti berbagai diskusi, seminar, workshop, dan training yang relevan. Peningkatan kemampuan aparatur diharapkan akan memperbaiki kualitas pekerjaan dan tingkat pelayanan publik;

Ketiga, terbuka terhadap ide, gagasan, dan pemikiran baru. Adalah sifat kebanyakan orang untuk bersikap taken for granted (menerima sesuatu yang berlaku sebagai keniscayaan). Sikap demikian tidaklah tepat mengingat dinamika lingkungan di sekitar senantiasa menuntut tindakan yang responsif dan adapatif.

Keempat, memanfaatkan segala kesempatan untuk berperan menciptakan kondisi yang lebih baik. Hal ini terkait erat dengan otoritas seseorang. Sebagai staf, di samping dapat dengan menampilkan kinerja terbaik, juga dapat melalui kontribusi pikiran yang konstruktif dalam proses pengambilan keputusan. Sementara itu, atasan dapat memainkan peran yang lebih besar lewat penentuan kebijakan, program dan kegiatan;

Kelima, berani mengajukan pemikiran yang berbeda dengan atasan. Terkadang aparatur pemerintah sering menjadi “yes man” terhadap atasannya karena tidak memilik integritas atau sekedar mencari selamat. Ada juga yang bersikap demikian karena pemahaman yang keliru atas makna loyalitas. Padahal, pemikiran berbeda yang positif belum tentu akan diabaikan atasan. Selain itu, juga tidak jarang menjadi alternatif yang lebih baik dan dapat menyelamatkan atasan dari pengambilan keputusan yang keliru;

Keenam, membangun networking (jejaring kerja) dengan rekan sejawat, individu, dan kelompok yang memiliki komitmen terhadap perubahan. Menjadi single fighter dalam upaya perubahan adalah mustahil. Keikutsertaan banyak orang membuat upaya tersebut menjadi lebih mudah dan akan membawa pengaruh yang signifikan.

 

Sumber:

Bahan paparan Dr. H. Mardi Candra, S.Ag., M.Ag., M.H

9 Likes

Author: projustice

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Comment