Projustice – Jakarta, Dalam sebuah contoh kasus, diduga telah terjadi pencemaran air sungai yang diakibatkan oleh adanya pembuangan air limbah pabrik. Oleh karena itu, penyidik disertai dengan tim terkait melakukan pengambilan sample air sungai sebagai barang bukti di persidangan.
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam rangka Penegakan Hukum terhadap pelaku tindak Pidana Lingkungan Hidup, dapat dilakukan Penegakan Hukum terpadu antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Kepolisian dan Kejaksaan dibawah Koordinasi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Namun dalam hal pengambilan sampe air, wewenang hanya terdapat pada pejabat pengawas lingkungan hidup. Akan tetapi, ia dapat berkoordinasi dengan pejabat PPNS yang kemudian pejabat PPNS memberitahukan penyidikan itu kepada penyidik pada Kejaksaan maupun Kepolisian yang menangani perkara.
Dengan demikian, penyidik Kejaksaan/Kepolisian memiliki tugas membantu pelaksanaan wewenang pejabat pengawas lingkungan hidup dan PPNS dalam melakukan pengambilan sampel, dengan catatan, pengambilan sampel itu dilakukan guna kelancaran kepentingan penyidikan saja.
Berdasarkan Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara Tindak Pidana Lingkungan HidupAda 7 (tujuh) tahapan pengambilan sample dari sungai yang diduga tercemar oleh limbah pabrik, yaitu:
(1) Contoh sample air yang diduga tercemar pembungkusannya, pengirimanya ke laboratorium sampai kemampuan memahami/membaca dan menggunakan/menterjemahkan hasil analisa laboratorium terhadap sample-sample tersebut harus dilaksanakan secara akurat, baik aspek teknis maupun aspek yuridisnya.
(2) Pelaksanaan pengambilan contoh sample air yang diduga tercemar dibuatkan berita acara, pelaksanaannya secara teknis dapat dimintakan bantuan kepada para pejabat laboratorium rujukan propinsi setempat, namun pembuatan berita acara tetap dilakukan penyidik.
(3) Jaksa Penuntut Umum mengevaluasi isi berkas perkara/hasil penyidikan bahwa pelaksanaan sampling harus disaksikan minimal 2 orang saksi, pertama adalah saksi/karyawan yang mewakili pihak pabrik dan kedua oleh warga masyarakat, sedapat mungkin dari pihak yang menjadi korban pencemaran. Bila pengambilan sample dan pembungkusan/penyegelan sample yang diambil tidak disaksikan oleh kedua macam saksi tersebut diatas, pihak penuntut umum supaya menyatakan berkas perkara belum lengkap.
Berkas penyidikan tersebut dikembalikan kepada penyidik disertai petunjuk agar sample diulang kembali dan agar kegiatan sample, kegiatan pembungkusan dan penyegelan contoh effluen dan ambien harus disaksikan minimal 2 orang saksi yang dinyatakan dengan penandatanganan Berita Acara oleh kedua saksi tersebut. Sarankan agar kedua saksi tersebut terdiri dari seorang karyawan pabrik bagian pengelolaan lingkungan hidup dan seorang lagi dari warga masyarakat yang terkena dampak pencemaran/perusakan lingkungan hidup yang terjadi.
(4) Titik lokasi pengambilan contoh sample air harus dilakukan pada titik-titik lokasi yang tepat dan relevan, minimal harus dilakukan pada saluran sebelum limbah memasuki Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) dan pada saluran air limbah yang keluar dari IPAL sebelum memasuki media lingkungan.
Titik lokasi pengambilan contoh air harus dilakukan minimal pada dua titik lokasi; pertama pada titik lokasi up stream (bagian daerah pengaliran air sungai sebelah hulu yang belum kemasukan limbah pabrik) dan kedua pada titik lokasi down stream yaitu pada bagian daerah pengaliran air sungai sebelah hilir, yang dinamakan mixing zone, dimana telah terjadi percampuran yang merata antara air sungai dengan air limbah, sehingga contoh ait sungai tersebut dapat dikatakan contoh representatif. Harus ada data (dan dinyatakan melalui pendapat ahli dari saksi ahli) tentang perbandingan kualitas air sungai pada up stream dengan kualitas air sungai pada down stream.
(5) JPU dan para saksi ahli didampingi oleh pimpinan pabrik harus melakukan peninjauan parbrik/TKP serta melakukan penelitian kinerja ketaatan pabrik terhadap persyaratan izin usaha, persyaratan pembuangan air limbah ke lingkungan hidup lainnya, baik ketentuan hukum pidana maupun ketentuan hukum tata usaha negara.
Dengan demikian yang digunakan sebagai tolak ukur kinerja ketaan pabrik adalah:
a. rambu-rambu/persyaratan teknis dan administratif yang tercantum secara terperinci dalam surat izin usaha/kegiatan.
b. rambu-rambu/persyaratan teknis dan administratif yang tercantum secara terperinci dalam surat izin pembuangan limbah ke lingkungan.
c. ketentuan perundang-undangan lingkungan hidup, terutama yang bersifat teknis dan administratif (ketentuan hukum tata usaha negara) maupun ketentuan hukum pidana.
d. kesepakatan-kesepakatan yang pernah ada antara pihak pabrik/perusahaan dengan suatu instansi pemerintah maupun dengan pihak masyarakat dan pelaksanaan/tindak lanjutnya.
Sangat penting untuk dicermati apakah pabrik/perusahaan tersangka memasang alat pengukur (flow meter) debit pengaliran air limbah sehingga mampu mengontrol pengaliran air limbah yang masuk ke IPAL dan yang keluar dari IPAL untuk selanjutnya di buang ke lingkungan. Dan selanjutnya juga untuk menghitung beban pencemaran yang terjadi, hal tersebut erat kaitannya dengan kemungkinan/kepastian bahwa perusahaan/pabrik tersangka sewaktu-waktu menggelontorkan air limbah pabrik memasuki sungai, biasanya dilakukan pada waktu malam hari atau sewaktu air sungai pasang.
Erat hubungannya dengan upaya penggelontoran air limbah pabrik ke sungai adalah bahwa pabrik sengaja membuat apa yang dinamakan saluran siluman. Saluran siluman dimaksudkan sebagai peluang bagi pabrik untuk membuang limbahnya langsung ke sungai tanpa melalui IPAL. Dengan demikian pabrik dapat menghemat biaya pengolahan limbah yang cukup besar tanpa peduli apakah lingkungan menjadi tercemar/rusak dan dapat membahayakan nyawa dan kesehatan masyarakat pengguna air dan biota, termasuk mikro organisme yang hidup di air sungai dan dasar sungai tersebut.
Dengan demikian perlu mendapat perhatian dari penyidik bahwa untuk mendapat hasil penyidikan uang memenuhi kualifikasi sebagai apa yang dinamakan prima facle case sampling harus dilakukan pada waktu titik lokasi yang tepat dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maoun yuridis.
(6) Agar bukti sampling dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan yuridis, setiap barang bukti harus memenuhi apa yang dinamakan chain of custody atau chain of evidence, artinya bahwa mata rantai proses mulai dari pengumpulan/pengambilan barang bukti, perjalanan ke dan dari laboratorium sampai kepada pengajuannya di depan sidang pengadilan tidak boleh ada yang terputus sehingga mengundang keragu-raguan atas kebenaran/keabsahan barang bukti tersebut, umpamanya pengambilan sample tidak ada saksi, pengiriman sample ke laboratorium dalam keadaan tidak di segel, tidak ada kepastian bahwa sample dari pabrik dan sungai yang menjadi perkara.
(7) Hindarkan atau jangan sekali-kali melakukan pengambilan contoh limbah cair pada waktu musim hujan atau pada debit air sungai sedang besar dan juga harus diusahakan agar pengambilan contoh air sungai pada waktu pabrik sedang berproduksi dan pabrik membuang limbahnya ke sungai. Sebaliknya jangan melakukan pengambilan contoh air sungai pada waktu pabrik sedang tidak berproduksi dan atau pabrik sedang dalam keadaan tidak membuang limbahnya ke sungai. Pengambilan contoh limbah dan air sungai sangat baik dilakukan justru pada waktu pabrik menggelontorkan limbah cairnya ke sungai (biasanya aparat pengawas sedang tidak bertugas, tidur/ketiduran).